Saturday, 10 December 2011

SEDIKIT MENGENAL PASCA-TRAUMA


Telaah klasik pasca trauma telah diungkap oleh Sigmund Freud bahwa setiap manusia mengalami trauma. Dijelaskan bahwa trauma pertama kali dialami manusia pada saat dilahirkan. Anak harus keluar dari rahim ibunya yang dapat memenuhi segenap kebutuhanya dan penuh kedamaiannya, tanpa konflik-konflik.
Dalam kajian psikoanalisi, berpandangan bahwa trauma berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak sekalipun reaksi-reaksi traumatisnya tdak dimanifestasikan secara langsung oleh anak. Semua pengalaman traumatis itu disiman oleh anak didalam bawah sadarnya dan pengalaman-pengalaman itu terus membentuk kepribadian hingga masa dewasanya.
Trauma tidak hanya terjadi karenan kelahiran melainkan juga pada perjalanan hidup manusia yang memberikan banyak pengalaman traumatis. Pengalaman-pengalaman tersebut dapart berupa faktor alami seperti bencana alam ataupan faktor psiko-sosial seperti peperangan, konfik masyarakat, penyiksaan atau lainnya yang kesemuanya itu menimbulkan ketakutan baik secara personal maupun kolektif.

Manifestasi Pasca-Trauma
Pengalaman-pengalaman yang utamanya tidak menyenangkan tidak dibuang begitu saja. Pengalaman yang tidak dikehandaki tersebut disimpan dalam bawah sadar. Mekanisme tersebut termasuk dalam upaya mempertahankan egonya. Sering kali pengalaman yang ditekan ke alam bawah sadar dapat muncul kembali dalam bentuk perilaku neurosis. Dalam buku panduan pelatihan konseling trauma yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional dan Universitas Negeri Malang (2003) dijelakan bahwa “reaksi dari pengalaman traumatis dapat dalam bentuk regresi, kompensasi, dekompensasi, proyeksi, dan sebagainya”. Namun juga dijelaskan bahwa “ pengalaman traumatik yang secara langsung menimbulkan gangguan (psikotik) stress pasca-trauma”.
Reaksi umum akan akibat dari pengalaman yang tidak diingikan adalah berusaha menghalaunya dari kesadaran, akan tetapi ingatan akan hal tersebut tidak bisa dikubur. Kemauan untuk menolak atau tidak mengakui dengan dorongan untuk menyatakan secara terbuka merupak dialektika dari trauma psikologis. Bila apayang sebenarnya terjadi akhirnya terbuka, mereka dapat selamat dari kekejaman itu dan memulai proses kesembuhannya. Namun, banyak yang kejadian semacam itu dirahasiakan dan ditutupi sehingga tidak muncul narasi verbal dan muncul bentuk simptom-simptom fisik dan psikis baik saksi apalagi korban dapat terkena dialektika dari trauma ini

Ganguan Stress Pasca-Trauma
Istilah PTSD adalah kepanjangan dari Post-Traumatic Stress Disorder yang kalau diterjemahkan menjadi Gangguan Stres Pasca Trauma. Artinya, gangguan stres atau tekanan berlebihan yang kita rasakan sekarang merupakan akibat dari suatu peristiwa traumatik yang pernah kita alami sebelumnya. Istilah traumatik di sini bisa merujuk pada peristiwa yang sangat menakutkan dan mengerikan atau sesuatu yang sangat menyakitkan, baik secara emosional maupun fisik.
Secara klinis dapat digambarkan bahwa berbagai pengalaman pahit, seperti berbagai tindakan kekerasan dapat menimbulkan gangguan secara langsung dengan apa yang disebut “gangguan pasca trauma”. Namun demikian, tidak selalu pengalaman traumatik itu secara langsung menimbulkan gangguan pada individu karena disimpan dalam alam bawah sadarnya, dan diwujudkan dalam perilaku-perilaku lain.
Gangguan stres pasca-trauma biasanya muncul sebagai respon yang berkepanjangan dan tertunda terhadap kejadian atrau situasi yang menumbulkan stress dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap orang.
Faktor predisposisi seperti ciri kepribadian tertentu atau adanya riwayat gangguan neurotik sebelumnya, dapat menurunkan ambang kerentanan untuk terjadinya sindroma ini atau memperberat keadaanya, akan tetapi bukan merupakan hal yang menentukan untuk terjadinya gangguan ini.
Tidak bisa dilupakan bahwa kebudayaan memiliki peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi bagaimana seorang manusia menginterpretasikan apa-apa yang terjadi dalam dirinya dan lingkungan disekitarnya. Dari budaya ini, sehingga secara langsung menentukan bagaiamana seorang menentukan dan mengatur pola dan cara mengekspresikan berbagai reaksi dan kesan evaluatif terhadap apa yang dialami.
Gejala Ganguan Stress Pasca-Trauma
Gangguan stress pasca trauma biasa ditandai dengan gejala-gejala seperti apa yang dijelasakan dalam buku panduan pelatihan konseling pasca trauma yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional dan Universitas Negeri Malang (2003) sebagai berikut :

1.      Pengalaman traumatik sering kali mengganggu perasaan, pikiran, dan perilaku orang yang mengalami, meskipun tidak langsung menimbulkan gangguan pada individu.
2.      Pengalaman traumatik biasanya tidak dapat hilang dengan mudah, karena pengalaman tersebut direpress dan disimpan di dalam alam bawah sadarnya, dan diwujudkan dalam bentuk perilaku-perilaku lainya.
3.      Gangguan stress pasca-trauma biasanya timbul sebagai respon yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan)
4.      Gejala khas mencakup episode-episode di mana bayangan-bayangan kejadian traumatik tersebut berulang kembali (flash back) atau dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan “beku” dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya, menghidari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya.
5.      Meskipun jarang, kadang-kadang bisa terjadi reaksi dramatik, mendadak ketakutan, panik, atau agresif yang dicetuskan oleh stimulus yang mengingatkan kembali kepada trauma yang dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma ini.
6.      Onset terjadi setelah terjadi trauma, dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan. Perjalanan keadaan ini berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhannya.
7.      Pada sejumlah kecil pasien, perjalanan penyakit dapat menjadi kronis sampai beberapa tahun dan terjadi transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama.

Konseling Pasca-Trauma
Konseling traumatik adalah upaya konseli dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Konseling traumatik sangat berbeda dengan konseling yang biasa dilakukan oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktifitas, dan tujuan. Disebutkan bahwa tujuan konseling traumatik adalah :
1.      Berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan
2.      Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma
3.      Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma, serta
4.      Belajar ketrampilan baru mengatasi trauma.

Menurut Rusmana dalam lestari (2010:6), secara umum konseling traumatik bertujuan untuk menurunkan gejala kecemasan pasca trauma. Secara khusus tujuan yang dapat dicapai adalah membantu anak dengan pengalaman traumatik untuk: (1) menghilangkan bayangan traumatis; (2) meningkatkan kemampuan berpikir secara lebih rasional; (3) membangkitkan minat terhadap realita kehidupan; (4) memulihkan rasa percaya diri; (6) memulihkan kelekatan dan keterkaitan dengan orang lain yang dapat memberi dukungan dan perhatian; (6) kepedulian emosional serta mengembalikan makna dan tujuan hidup.

Proses konseling traumatik terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik, proses konseling traumatik merupakan peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi konseli yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi konselor yang membantu mengatasi trauma konselinya tersebut. Oleh sebab itu Lestari (2010:6-7) menjelsakan bahwa seorang konselor pasca trauma hendaknya memeliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
1.      Pandangan yang realistis
2.      Orientasi yang holistik
3.      Fleksibilitas
4.      Keseimbangan antara empati dan ketegasan

Beberapa bentuk layanan konseling yang dapat dilakukan dalam membantu konseli pasca trauma antara lain :
1.      Self Help Group
Self help goup adalah sebuah kelompok dimana para anggotanya bertangguang jawab terhadap pengorganisasian, perjalanan fungsi, dan kepemimpinan kelompok tersebut. Tujuan dari self help group disini adalah agar peserta dapat membangun sebuah self help group dalam komunitasnya yang berfungsi optimal.
2.      Play Therapy
Terapi bermain adalah suatu intervensi kesehatan mental atau perkembangan yang didesain untuk membantu anak-anak tumbuh segembira dan sebaik mungkin dalam penyesuaian.
3.      Induvidual Counseling
4.      Group Counseling

No comments:

Post a Comment