Monday, 23 March 2015

Mengenal Secara Singkat perilaku Agresi


 PERILAKU AGRESI
Aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada  kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok.


A.    Pengertian Agresi
Secara sepintas setiap perilaku yang merugikan atau menimbulkan korban pada pihak orang lain dapat disebut sebagai perilaku agresif. Peran kognisi sangat besar dalam menentukan apakah suatu perbuatan dianggap agresif (jika diberi atribusi internal) atau tidak agresif (dalam hal atribusi eksternal). Dengan atribusi internal yang dimaksud adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam atribusi eksternal, perbuatan dilakukan karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau tidak disengaja (Sartono, 2002).
Agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi.
Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993)  didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Sedangkan Robert Baron (---,www.e-psycologi.com) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datang tingkah laku tersebut. Dengan demikian ada 4 unsur dalam agresi, yaitu :
  1. Adanya tujuan untuk mencelakakan
  2. Ada individu yang menjadi pelaku
  3. Ada individu yang menjadi korban
  4.  Ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku
Perilaku agresi dimiliki oleh setiap orang karena hal itu merupakan bagian dari insting. Ada 2 teori yang dapat dijadikan referensi untuk menerangkan permasalahan diatas :
1.      Teori Instink Psikoanalisa
Freud berpendapat bahwa dalam diri setiap manusia ada 2 jenis instink yaitu instink untuk mempertahankan kehidupan yang dikenal dengan eros dan instink untuk mati atau menghilangkan kehidupan yang disebut sebagai tanathos. Oleh karena itu agresi menurut Freud dapat dimasukkan ke golongan instink mati (thanatos) yang merupakan ekspresi dari hasrat kematian yang berada pada taraf tak sadar. Ekspresi agresi ini dihalangi oleh ego dan superego (aturan, orang lain, budaya) yang menekan hasrat ini agar tetap berada di taraf tak sadar. Ego memainkan peranan yang sangat penting dalam represi hasrat ini, selain itu ego juga mengendalikan hasrat kematian ini dengan sublimasi, yaitu penyaluran instink tersebut ke dalam aktivitas non agresif yang secara sosial bisa diterima masyarakat, misalnya dengan berolah raga, berkebun, berburu.
2.      Teori Instink Mc Dougall
Menurut Mc Dougall dalam diri setiap orang terdapat instink untuk menyerang dan berkelahi. Dorongan dari naluri ini yaitu rasa marah karena suatu hal terutama karena merasa terancam atau kebutuhannya tidak terpenuhi.

B.     Jenis Agresi
Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam Sarwono,2002). Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

C.    Bentuk Agresi
Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti mencaci- maki, berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/ kotor dan bentuk- bentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan.
Setelah penguraian diatas yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi pemicu perilaku agresi tersebut? Mengapa kasus-kasus yang terkadang cuma sepele dalam kehidupan sehari-hari dapat tiba-tiba berubah menjadi bencana besar yang berakibat hilangnya nyawa manusia?   Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa saja penyebab perilaku agresi.
D.    Penyebab Timbulnya Perilaku Agresi
Zainun Mu'tadin dalam artikelnya yang berjudul faktor prnyebab perilaku agresif ( http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm ) menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan perilaku agresif pada diri seseorang antara lain:
1.      Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan, kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul. Ejekan ini semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan terlibat dalam perkelahian.



2.      Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):
a.       Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya,  faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
b.      Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
c.       Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
3.      Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
4.      Lingkungan
a.       Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota semisalnya, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja.



b.      Anonimitas
Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.
Terlalu banyak  rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik.  Lebih jauh lagi, setiap individu  cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
c.       Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
5.      Peran Belajar Model Kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap. Hal ini seiring dengan teori belajar model milik A.Bandura 
6.      Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi.  Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya  mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
7.      Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut,  tidak ramah dengan orang lain,  dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka).

E.     Pencegahan
Dengan mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan  diatas diharapkan dapat diambil tindakan pencegahan yang efektif agar setidak-tidaknya dapat meminimalisir perilaku agresif pada individu atau pelajar, disamping hal tersebut beberapa  tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1.      Orang tua
Orang tua merupakan faktor utama dalam membentuk kepribadian anak oleh sebab itu penanaman sikap positif dalam diri hendaknya dimulai dari keluarga yang merupakan bagain terdekat dalam diri setiap individu mulai sejak dini sampai akhir.
2.      Lingkungan
Mengusahakan selalu berada dalam lingkungan yang positif dan cukup mendukung proses perkembangan diri menjadi alternatif pencegahan yang cukup efektif mengingat faktor lingkungan memiliki peranan yang cukup penting dalam membentuk perilaku,
3.      Bergaul dengan orang-orang yang memiliki pola pikir yang sama dan berorientasi pada hal yang positif.
4.      Pribadi
a.       Selalu berpikir positif dalam segala hal yang dihadapi.
b.      Mencoba bersikap toleran, mau menghargai orang lain dan pribadi
c.       Mendekatkan diri kepada tuhan dan Agama.
F.     Dampak yang akan timbul
Dampak perilaku agresi berdasarkan bentuk dari agresi itu sendiri dijelaskan sebagai berikut (Awilson, 2006) :
Bentuk Agresi
Contoh
Fisik, aktif, langsung
Menikam, memukul, atau menembak orang lain
Fisik, aktif, tak langsung
Membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh.
Fisik, pasif, langsung
Secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan atau tindakan yang diinginkan (seperti aksi duduk dalam demonstrasi)
Fisik, pasif, tak langsung
Menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya
Verbal, aktif, langsung
Menghina orang lain
Verbal, aktif, tak langsung
Menyebarkan gossip atau rumor jahat tentang orang lain
Verbal, pasif, langsung
Menolak berbicara kepada orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll
Verbal, pasif, tak langsung
Tidak mau membuat komentar verbal (misal:
menolak berbicara ke orang yang menyerang
dirinya bila dia dikritik secara tidak fair)

G.    Pemecahan Masalah
Kasus Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi tersebut adalah:


1. Hukuman
Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
2. Katarsis
Katarsis merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi. Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan, 2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah raga itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah.
3. Pengenalan Terhadap Model Non Agresif
Menurut teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif.
4. Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat ketidakmampuan dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang lain.



DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian. Malang. UMM Press.

Tri Dayakisni, & Hudaniah. 2001. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Walgito, B. 1980. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Mu'tadin, Zainun. 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. Available at Error! Hyperlink reference not valid. 2008/09/18}.

Psycologi Team. Agresifitas pada Anak Kecil: an dan Ulil. Available at www.e-psikologi.com {accessed 2008/09/18}


Tinjauan psikologi sosial terhaddap perilaku agresi. Available at http://unikunik.wordpress.com/2008/03/09/ {accessed 2008/10/23}

No comments:

Post a Comment