PERILAKU AGRESI
Aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan
berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus
yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi kekerasan dapat
terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di
kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal
(mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada
kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal
merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung
dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan
oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi
kita semua. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku
agresi dari seorang individu atau kelompok.
A. Pengertian Agresi
Secara sepintas
setiap perilaku yang merugikan atau menimbulkan korban pada pihak orang lain
dapat disebut sebagai perilaku agresif. Peran kognisi sangat besar dalam
menentukan apakah suatu perbuatan dianggap agresif (jika diberi atribusi
internal) atau tidak agresif (dalam hal atribusi eksternal). Dengan atribusi
internal yang dimaksud adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan
untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam atribusi eksternal, perbuatan
dilakukan karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau tidak disengaja
(Sartono, 2002).
Agresi walaupun
merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak mudah untuk
mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang
lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm &
Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena
unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku
agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan
bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak
berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi.
Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi
kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai
suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang,
membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah
tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang
lain.
Sedangkan Robert
Baron (---,www.e-psycologi.com) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku
individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datang
tingkah laku tersebut. Dengan demikian ada 4 unsur dalam agresi, yaitu :
- Adanya tujuan untuk mencelakakan
- Ada individu yang menjadi pelaku
- Ada individu yang menjadi korban
- Ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku
Perilaku
agresi dimiliki oleh setiap orang karena hal itu merupakan bagian dari insting.
Ada 2 teori yang dapat dijadikan referensi untuk menerangkan permasalahan
diatas :
1.
Teori Instink Psikoanalisa
Freud
berpendapat bahwa dalam diri setiap manusia ada 2 jenis instink yaitu instink
untuk mempertahankan kehidupan yang dikenal dengan eros dan instink untuk mati atau menghilangkan kehidupan yang
disebut sebagai tanathos.
Oleh karena itu agresi menurut Freud dapat dimasukkan ke golongan instink mati
(thanatos) yang merupakan ekspresi dari hasrat kematian yang berada pada taraf
tak sadar. Ekspresi agresi ini dihalangi oleh ego dan superego (aturan, orang
lain, budaya) yang menekan hasrat ini agar tetap berada di taraf tak sadar. Ego
memainkan peranan yang sangat penting dalam represi hasrat ini, selain itu ego
juga mengendalikan hasrat kematian ini dengan sublimasi, yaitu penyaluran instink tersebut ke dalam
aktivitas non agresif yang secara sosial bisa diterima masyarakat, misalnya
dengan berolah raga, berkebun, berburu.
2.
Teori Instink Mc Dougall
Menurut Mc
Dougall dalam diri setiap orang terdapat
instink untuk menyerang dan berkelahi. Dorongan dari naluri ini yaitu
rasa marah karena suatu hal terutama karena merasa terancam atau kebutuhannya
tidak terpenuhi.
B. Jenis Agresi
Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile
aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau
sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku
agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2)
agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai
emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain
selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk
membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan,
perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam
Sarwono,2002). Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang
mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan
agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.
C.
Bentuk Agresi
Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang
berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta bentuk-
bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau sumber
frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti mencaci- maki,
berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/ kotor dan bentuk- bentuk
lain yang sifatnya verbal/ lisan.
Setelah penguraian diatas yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah
faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi pemicu perilaku agresi tersebut?
Mengapa kasus-kasus yang terkadang cuma sepele dalam kehidupan sehari-hari
dapat tiba-tiba berubah menjadi bencana besar yang berakibat hilangnya nyawa
manusia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya
kita memahami terlebih dahulu apa saja penyebab perilaku agresi.
D.
Penyebab Timbulnya Perilaku Agresi
Zainun Mu'tadin dalam artikelnya yang berjudul faktor prnyebab perilaku
agresif ( http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm ) menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat
menimbulkan perilaku agresif pada diri seseorang antara lain:
1.
Amarah
Marah merupakan
emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi
dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya
kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff,
Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang,
meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang
kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
Jadi tidak dapat
dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah.
Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan
akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang
jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota
seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja
biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan,
kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang
dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang
semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul. Ejekan ini
semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga
ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan
amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa
saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan
mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan
terlibat dalam perkelahian.
2.
Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi
perilaku agresi (Davidoff, 1991):
a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem
neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan
terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing
amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal
dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
b. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata
dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada
hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem
limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul
hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff,
1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit
melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan
atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi).
Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena
kurang rangsangan sewaktu bayi.
c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang
sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus
dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang
memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin
sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi
lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri
(dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang
sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron
menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka
mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita
yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid ini.
3.
Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan
atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat
terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali
tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah
satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap
ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak
permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik,
kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
4.
Lingkungan
a. Kemiskinan
Bila seorang
anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara
alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat
kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota semisalnya, di
perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa
didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan
silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda
siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda
mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda
tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada
temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya
yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi
pemandangan yang seolah-olah biasa saja.
b. Anonimitas
Kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai
suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang
secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan
penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.
Terlalu
banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat
impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling
mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap
individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila
seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia
merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada
orang lain.
c. Suhu udara yang panas
Bila
diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi
pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak
ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung
pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik
dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
5.
Peran Belajar Model Kekerasan
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan
adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan
yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir
setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari
film kartun, sinetron, sampai film laga. Walaupun pembawa acara berulang kali
mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun
diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang
mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti
akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan
tersebut.
Dalam suatu
penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anak-anak yang
memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif,
mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan
kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada
kemungkinan efek ini sifatnya menetap. Hal ini seiring dengan teori belajar
model milik A.Bandura
6.
Frustrasi
Frustrasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal
adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah
marah dan berperilaku agresi.
Sebagai contoh
banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak
dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek
mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian
disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak
(diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak
adalah untuk kebutuhan dirinya.
7.
Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan
disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan
memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi
remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan
disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak
ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman,
kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa
dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk.
Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila
larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif
(cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk
keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya
karena kesibukan mereka).
E.
Pencegahan
Dengan
mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan diatas diharapkan
dapat diambil tindakan pencegahan yang efektif agar setidak-tidaknya dapat
meminimalisir perilaku agresif pada individu atau pelajar, disamping hal
tersebut beberapa tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan antara lain :
1.
Orang tua
Orang tua merupakan
faktor utama dalam membentuk kepribadian anak oleh sebab itu penanaman sikap
positif dalam diri hendaknya dimulai dari keluarga yang merupakan bagain terdekat
dalam diri setiap individu mulai sejak dini sampai akhir.
2.
Lingkungan
Mengusahakan selalu
berada dalam lingkungan yang positif dan cukup mendukung proses perkembangan
diri menjadi alternatif pencegahan yang cukup efektif mengingat faktor
lingkungan memiliki peranan yang cukup penting dalam membentuk perilaku,
3.
Bergaul dengan orang-orang
yang memiliki pola pikir yang sama dan berorientasi pada hal yang positif.
4.
Pribadi
a.
Selalu berpikir positif
dalam segala hal yang dihadapi.
b.
Mencoba bersikap
toleran, mau menghargai orang lain dan pribadi
c.
Mendekatkan diri kepada
tuhan dan Agama.
F.
Dampak yang akan timbul
Dampak
perilaku agresi berdasarkan bentuk dari agresi itu sendiri dijelaskan sebagai
berikut (Awilson, 2006) :
Bentuk Agresi
|
Contoh
|
Fisik, aktif, langsung
|
Menikam, memukul, atau
menembak orang lain
|
Fisik, aktif, tak langsung
|
Membuat perangkap untuk
orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh.
|
Fisik, pasif, langsung
|
Secara fisik mencegah
orang lain memperoleh tujuan atau tindakan yang diinginkan (seperti aksi
duduk dalam demonstrasi)
|
Fisik, pasif, tak langsung
|
Menolak melakukan
tugas-tugas yang seharusnya
|
Verbal, aktif, langsung
|
Menghina orang lain
|
Verbal, aktif, tak
langsung
|
Menyebarkan gossip atau
rumor jahat tentang orang lain
|
Verbal, pasif, langsung
|
Menolak berbicara kepada
orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll
|
Verbal, pasif, tak
langsung
|
Tidak mau
membuat komentar verbal (misal:
menolak
berbicara ke orang yang menyerang
dirinya bila dia dikritik
secara tidak fair)
|
G.
Pemecahan Masalah
Kasus Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi
yang menjadi salah satu masalah sosial yang cukup serius yang harus segera
dipecahkan. Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi
perilaku agresi. Strategi-strategi tersebut adalah:
1. Hukuman
Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk
mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku
agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus
memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang
ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan
setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
2. Katarsis
Katarsis merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan
dengan jalan melampiaskannya dalam dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa
pemberian kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk
berperilaku keras (dalam aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak
merugikan, akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk
melakukan perilaku agresi. Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron
dan Byrne (dalam Hanurawan, 2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan
instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian
Robert Arms dan kawan-kawan melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika,
gulat, dan hoki ternyata malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah
menonton pertandingan olah raga itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam
aktivitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat
sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam
dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu
kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu atau berpikir tentang
orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah.
3. Pengenalan
Terhadap Model Non Agresif
Menurut teori belajar sosial Albert Bandura,
pengenalan terhadap model non agresif dapat mengurangi dan mengendalikan
perilaku agresi individu. Dalam penelitian Baron pada tahun 1972 (dalam
Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan Donnerstein pada tahun 1976
(dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model
non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang
tidak mengamati perilaku model non agresif.
4. Pelatihan
Ketrampilan Sosial
Pelatihan ketrampilan sosial dapat mengurangi
timbulnya perilaku agresi. Pelatihan ketrampilan ini dimaksudkan untuk
mengurangi frustrasi yang timbul akibat ketidakmampuan dalam mengekspresikan
dan mengomunikasikan keinginan kepada orang lain, gaya bicara yang kaku, dan
kurang sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang lain.
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian.
Malang. UMM Press.
Tri Dayakisni, & Hudaniah. 2001. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Walgito, B. 1980. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Mu'tadin, Zainun. 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresi.
Available at Error! Hyperlink reference not
valid. 2008/09/18}.
Psycologi Team. Agresifitas pada Anak Kecil: an dan Ulil. Available at www.e-psikologi.com {accessed 2008/09/18}
Tawuran Pelajar: Ditinjau dengan
perspektif perilaku Agresi. Available at www.bowothea.blogspot.com/2008/05/tawuran-pelajar-ditinjau-dengan.com {accessed 2008/09/18}
Tinjauan psikologi sosial terhaddap perilaku agresi. Available at http://unikunik.wordpress.com/2008/03/09/
{accessed 2008/10/23}
No comments:
Post a Comment